Kesetaraan Itu (mungkin) Memang Tak Pernah Ada

Setelah berrrrkali-kali saya terpaksa membatalkan janji, akhirnya kami bisa bertemu di libur lebaran minggu lalu. Dewi fortuna berpihak pada kami kali ini, waktu kami ‘match’ satu sama lain, dan kami bisa bertemu lebih dari satu kali-karena esoknya dan esoknya lagi kita masih bisa janjian ketemu, senangnya saya. Karena status saya – ibu dua anak yg masih lumayan kecil2 – ditambah segala sesuatu diurus sendiri, maka pertemuan dengan sahabat lama saya itu, merupakan satu kemewahan tersendiri buat saya.

Dia, seorang wanita paruh baya-umurnya memang jauh lebih tua terpaut sepuluh tahun lebih diatas saya, saya kenal dulu sewaktu saya masih berstelan ‘office looking’ pukul tujuh pagi (sekarang jam segitu baru mau mandi, karena rumah baru selesai gaduhnya ditinggal ‘para majikan’ dan tinggal saya sendiri sang ‘pembantu setia’)- meski sudah lama kami jarang ketemu, tapi komunikasi tetap intens berjalan.

Dia seorang wanita cerdas-dalam arti harfiah- murid juara sepanjang masa sekolahnya. Juga wanita beruntung-menurut saya- karena mampu mewujudkan kecerdasannya itu menjadi sesuatu yang mengangkatnya secara social, membuatnya masuk dalam golongan mapan secara social dan financial. Karena saya tahu, betapa banyak wanita2 berotak cemerlang dibanding kaum adam namun kesempatan dan keadaan membuat mereka harus puas ‘terpuruk’ menjadi warga ‘kelas dua’ yang sesungguhnya. Tapi hidup bukanlah kesempurnaan, selalu ada harga yang harus kita bayar demi keberhasilan kita di satu sisi.

“Look at you, I see you become woman day by day, amazing! I bet it’s because you’ve found it…your love” diucapkannya tanpa pura2, selintas pipi saya mungkin merah dadu, setelah akhirnya saya timpali sembari ketawa,

“bissssaaaa ajahh! Alhamdulillah…, but maybe there’s something wrong with your eyes”

“I see it with my heart, not my eyes” sejurus kemudian dia mengucapkan itu dengan tatapan nanar, setengah menerawang. Ah, saya tahu yang mengisi hati dan pikirannya sekarang.

Perlahan saya sentuh punggung tangannya, menguatkan dia,

“I’m sure someday you’ll find the right men, dear…” sembari pasang muka sedatar2nya, karena saya gak mau membuat kami berdua menangis, cukup di telepon saja kami berdua suka menangis, ketika dia menceritakan perangai mantan suaminya dulu.

Tapi kemudian dia tertawa miris,

“haha…iya, ntar kalo di dunia ini ada laki2 yang bisa melahirkan kali, jadi gak ada lagi yang namanya kodrat perempuan, kodrat laki2…”-gendhengnya keluar kalo ngomongin laki2.

Kadang saya gak tahu harus mulai dari mana kalau membahas masalah gender ini. Saya yakin sebenarnya Tuhan maha adil dengan menciptakan laki2 dan perempuan, berikut mengatur cara2 hubungannya di kitab2. Akan tetapi sejujurnya, sebagai perempuan saya pribadi masih merasa bahwa kaum saya memang ‘ditakdirkan’ menjadi kaum nomor dua, sekalipun hawa tercipta dari tulang rusuk adam, yang katanya berarti wanita dan pria itu sejajar, wanita dan pria itu saling menguatkan, wanita berhak menjadi apa saja yang dulu lazimnya dikuasai para pria. Memang betul, sekarang semua bidang pekerjaan yang dulu hanya pria yang bisa mengerjakannya, sekarang wanitapun bisa mengerjakannya, tak jarang lebih ahli. Tapi, meski di bumi ini jumlah wanita lebih banyak daripada pria, tetap saja yang memimpin, kaum yang jumlahnya ‘minoritas’ itu kan?

Banyak faktor yang mendukung terciptanya dominasi kaum pria dan streotip2 yang merugikan kaum wanita. Sosial budaya dan agama tentu saja menjadi ramuan kompleks yang menyuburkan dominasi kaum pria. Saya bukannya yang anti dominasi pria, buat saya gak masalah sepanjang memang pria tersebut kredibel dan kompeten sehingga layak memimpin, dalam bidang apa saja (maksudnya di masyarakat maupun di kehidupan rumahtangganya). Yang mengusik saya menuliskan ini adalah, KESEMPATAN bagi kaum wanita, untuk lebih maju dari kaum pria, terkadang hanyalah kenyataan semu yang harus dibayar mahal oleh kaum kami. Mengapa semu ? karena suka atau tidak, KENYATAANNYA lebih banyak lelaki yang lebih memilih wanita ‘biasa dan tidak terlalu pintar’ untuk ‘dipelihara dan disetiai’ ketimbang wanita karir yang pintar dan karirnya gilang gemilang, serta tentu saja menarik karena bisa merawat diri dengan uangnya sendiri. Wanita jenis nomor dua yang saya sebutkan, lebih merupakan ‘ancaman terselubung’ bagi kelelakian mereka, dalam batas ego maupun lebih parah, membuat kelelakiannya bisa disfungsi karena merasa ‘digagahi’.

Dalam pengamatan saya, jarang wanita karir yang IQ & EQ nya tinggi, punya jenjang karir cerah, didukung oleh suaminya, atau tidak dimanfaatkan oleh pacarnya. Karir yang mapan seolah harus dibayar oleh waktu yang terpinjam, dan pada jatuh temponya, si pasangan merasa punya hak penuh menuntutnya. Suami yang beristrikan model wanita seperti itu, jika tidak bisa berfikir luas, bisa dipastikan lambat laun mencari kehangatan diluar rumah dengan dalih haknya sebagai suami tidak terpenuhi. Seorang pria merasa ‘paling pintar’ jika bisa membodohi teman kencannya yang seorang wanita karir sukses yang sedang meniti tangga kekuasaan, manfaatkan kesepiannya, ambil uangnya, cari sensasi diluar dengan wanita yang lebih cantik tapi lebih bodoh dari si dia.

Memang, saya akui, di negara ini hampir tidak ada profesi laki2 yang tidak pernah dijamah perempuan, pun kita pernah memiliki presiden perempuan. Tapi saya dan kita semua tidak pernah tahu kesulitan mereka sebagai perempuan yang sedang berusaha meraih mimpinya dengan kenyataan kodrati yang mengelilingi mereka.

Kelihatan kusut ya, tulisan saya ? Mungkin sebenarnya tidak, kalau saya ceritakan, bahwa semua bermuara dari kejengkelan saya sama mantan suami sahabat saya itu. Sebenarnya cerita klise, suaminya main gila lagi sama perempuan lain, tapi si suami berdalih itu bukan kesalahannya, tapi kesalahan sahabat saya itu, karena dia merasa ‘diabaikan’ sebagai suami. Begini ya, iya saya paham, ekspektasi merupakan hak, dan kewajiban istri adalah patuh pada suami, iya saya sendiri tidak menyangkal itu. Tapi coba simak lagi kalau keadaannya seperti ini : istri kebetulan seorang yang pekerjaannya berhubungan dengan kemaslahatan orang banyak (maaf, bukan sekedar pegawai biasa) ditambah lagi dengan kemampuannya membawa diri dan kepiawaiannya bernegosiasi, jenjang karirnya bisa membawanya tinggal dua langkah lagi menaiki anak tangga untuk bisa menjadi sorang menteri, memimpin sebuah depertemen di republik ini. Secara otomatis, waktu buat pribadinya sendiri juga harus dia korbankan. Lha terus, kenapa sich, kalau mendapati istri semacam itu, lantas para lelaki mulai ambil ‘ancang-ancang’ dengan pura2 sok kuasa di rumah, menambah ‘kesangaran’ di tempat tidur minta dilayani lebih supaya kelihatan tetap berwibawa, dan mulai gak mau mendengarkan omongan istrinya dan sebaliknya, omongannya harus tetap didengar dan dipatuhi. Kalau anda berada di posisi teman saya itu, gerah ya, mendapati sikap laki2 yang begitu ?

Segala sesuatu memang membawa konsekuensi. Tapi sahabat saya itu tidak bisa lagi memilih , karena memang tidak ada pilihan. Dan itu sudah dibicarakannya baik2 dengan suaminya. Tapi tetap saja, perlakuan dipoligami secara paksa yang didapatnya. Merasa dirinya tak pantas mendapat perlakuan tersebut, dia memilih hidup sendiri dengan tetap membesarkan anak2nya. Belum lagi sikap mantan suaminya yang masih saja suka ‘memeras’nya (karena dia sadar betul mantan istrinya sangat mapan secara financial). Si mantan suami tetap merasa ‘tidak bersalah’ telah berbuat demikian, karena menurutnya istri adalah wanita, yang kodratnya mengurusi rumahtangga adalah nomor satu, dan jika takdir menjadikannya wanita berkuasa yang mengurusi orang banyak, tetaplah suaminya harus menjadi nomor satu dibanding kepentingan orang banyak tersebut. Sekalipun pak mentri yang memanggil istrinya, keputusan si istri boleh meninggalkan rumah atau tidak, tetaplah ditangan suami, meski itu untuk tugas sekalipun. Picik, memang. Aneh tapi nyata.

Saya rasa kisah teman saya diatas hanya secuil dari ketidakmampuan wanita menyetarakan gender akibat lingkungan yang sebenarnya memang tidak mendukung hal itu terjadi. Dulu, sewaktu masih bekerja, saya suka memimpikan jika saja ada satuuuuuu ruang kosong yang benar2 dikhususkan untuk pegawai wanita yang ingin memerah ASI nya- bukan di toilet, seperti yang dulu sering saya lakukan- saya gak tau apakah sekarang di bapindo plaza (sekarang plaza mandiri) sudah disediakan atau belum ruang seperti itu. Buat saya, hal semacam itu adalah bukti nyata, jika memang kesetaraan gender itu ada, mestinya kesempatan2 yang disesuaikan dengan kodrati perempuan diadakan. Jadi jangan bisanya cuma menuduh wanita yang tidak pandai membagi waktu, dll. Terkadang system & fasilitas disini yang memang tidak menunjang wanita berkarir tinggi, belum lagi ‘pikiran2 sempit’ pria melayu yang masih selalu menempatkan dirinya sebagai objek yang Di-… bukan subyek yang Me-… (selalu minta dilayani). Sekali lagi, ekspektasi merupakan hak setiap individu, dan kaum wanita berkewajiban menghormatinya- sebagaimana mereka juga mempunyai ekspektasi terhadap kaum pria untuk memandang bahwa mereka benar2 ‘setara’ dalam arti yang sesungguhnya. Saya percaya ada segelintir pria yang memang sudah memandang kaum wanita betul2 mitra sejajar…ya, meski cuma segelintir **tersenyum miris** dan saya yakin (mudah2an) pria2 disini termasuk kategori yang segelintir itu, bukan yang tergolong ikut arus mainstream.

SITUS VERTIKAL INI (Silahkan Klik)-ada diskusi didalamnya

One Response to “Kesetaraan Itu (mungkin) Memang Tak Pernah Ada”

  1. subhallah … sungguh luar biasa ..
    semua bacaan ini .. membuat saya termotivasi.. terimaksih .

Leave a comment