Saat Waktu Membeku

Apa arti kematian orang yang paling kau sayangi, buatmu?

Bagi saya, di momen itu, saya merasakan waktu seakan membekukan semua yang ada – samasekali tak ada yang bisa saya rasakan – selain kehampaan…serasa hidup saya berhenti di titik itu, namun waktu terus berlari meninggalkan saya karena kehidupan memang tidak berhenti sampai disitu…Berat, hanya itu yang mampu saya ingat.

Adalah tepat sebelas tahun yang lalu, dan di jam2 seperti ini – jam sembilan pagi hari di rabu 29 september 1999 – tubuh mendiang Ibu saya tercinta telah terbaring tenang, di sebuah dipan, tanpa denyut nadi yang menyertainya. Dan saya, di jam itu, mata saya sudah bengkak, dada saya sesak, dan perut saya samasekali belum tersentuh makanan sudah 14 jam, padahal, saat itu saya sedang mengandung enam setengah bulan anak pertama saya. Saya benar2 egois saat itu, tidak memikirkan jabang bayi saya, yang saya lakukan hanya menangis dan menangis. Begitu kuat penolakan yang ada dalam hati. Bagaimana bisa secepat itu, padahal malam sebelumnya (tanggal 28 september-jam setengah tujuh malam) saya dan Mama masih makan malam bersama, ngobrol segala sesuatunya tanpa ada yg istimewa, tanpa firasat yang aneh2. Hanya butuh waktu satu jam setelahnya, Mama mulai memasuki ‘sakratul maut’nya tanpa disadari oleh saya maupun beliau. Ya, sejam setelah itu Mama sudah tidak sadarkan diri, pun ketika dibawa ke rumah sakit dan masuk ke ruang ICU, saya masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ibu saya sudah tidak sadarkan diri, meski masih ada detak jantung yang sangat lemah.

Hanya setelah beberapa saat, ketika saya pulang ke rumah,karena telah lewat tengah malam dan saya ingin sekali berdoa-sholat di kamar saya, memohon yang terbaik untuk Mama saya. Selang beberapa jam setelah itu, rupanya beliau menghembuskan nafas terakhirnya, tanpa ada saya di sisinya. Mungkin Mama tahu, bahwa saya belum siap untuk ditinggal, karenanya beliau baru “pergi” justru setelah saya dan yang lainnya meninggalkan ruang ICU jam satu malam, malam itu.

Kini, sebelas tahun telah berlalu, namun saya masih merasa, ada kepingan-kepingan peristiwa yang masih tetap membeku, mengkristal di dalam sana, terkubur dalam sel kelabu otak saya, dan sesekali menguapkan nelangsa yang hanya bisa saya pendam dalam hati. Terlalu berarti hadirmu untukku, Ma…

Terlalu banyak pelajaran berharga, kenangan manis, masa kecil yang penuh kasih sayang, dan segalanya yang tak bisa terlukis dalam untaian kata, untuk mengenang arti seorang Ibu yang penuh kasih kepada anak2nya. Ibu yang menularkan ketegaran kepada anak2 perempuannya, dan mewariskan sifat penyayang kepada anak2 lakinya. Dan tentu saja dengan pendampingan seorang Ayah yang juga luar biasa, sosok Ayah saya adalah seorang Ayah yang luar biasa yang tidak bisa saya jumpai kini, dimanapun.

Kutulis ini bukan karena aku masih tidak rela akan kepergianmu,Ma…meski hidup serasa kian berat tanpa seseorang yang bisa mengerti aku, tapi ketegaran dan kesabaran yang berpuluh tahun aku ingat darimu, cukup membuatku mengikhlaskannya dari hari ke hari. Dan kini, seperti ucapanmu selalu kepadaku, bahwa : Cukuplah Tuhan selalu bersamamu, maka tak kau perlukan lagi yang lainnya.

5 Responses to “Saat Waktu Membeku”

  1. I feel ya sista.. *hugs*

  2. 😦 mbak ade…

  3. *peluk mak Ade*

    Semoga Mama mak Ade, tenang disana ya mak.. Dan mak Ade selalu diberi ketabahan dan kekuatan..

  4. posting menarik. salam kenal..

  5. tetap berdoa semoga alm. Mama diterima dan ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya di sisi-Nya ya Jeng.. Amien..
    😦

Leave a comment